Penulis fiksi dan non fiksi. Menggoreskan karya dalam tulisan, agar dibaca banyak orang dan bermanfaat.

Followers

Technology

Catatan

Thursday, 15 December 2011

Cerpen: Belantara Sesat

No comments :

BELANTARA SESAT
By : 11 Cermin
(Team 11)

Hidupku bagai belantara yang sangat sesat, teramat ramai dan menyesakkan, namun serasa tandus dan sepi. Kenapa aku harus merasakan kesepian di tengah keramaian? Kenapa aku menjadi terasing diantara lalu lalang orang di sekitar.  Kenapa?!
Pertengkaran demi pertengkaran kedua orang tuaku mewarnai hari-hari.   Aku mulai muak dengan keadaan di rumah. Tak bisa kutemukan lagi kedamaian disini. Tak ada ketenangan!
Kuambil tas ransel.  Kuputuskan untuk pergi meninggalkan rumah ini.  Bagiku sudah seperti neraka! Tak kupedulikan kegaduhan yang masih terjadi di ruangan tengah.  Aku lewati begitu saja.  Ayah ternyata menangkap basah aksiku. Pertengkaran terhenti. Aku pun mendadak menjadi pusat perhatian.  Mereka lalu memberondongiku dengan pertanyaan.
     “Abel, kamu mau kemana?”
     “Apakah ayah memperdulikannya?!”
     “Abel kamu mau pergi kemana?!” tanya ibu
     “Yang pasti meninggalkan rumah yang seperti neraka ini!” kutatap sinis mereka
     “Jaga bicaramu!” teriak ayah
     “Bukankah begitu adanya?! Jangan pernah mencegahku karena bagaimanapun aku akan tetap pergi.”
     “Kau memang benar-benar anak yang….” Ayah menatapku penuh amarah
     “Apa? Anak yang tidak patuh? Suka melawan?” aku menatap ayah penuh dengan pertentangan
     “Abel! Apa kau tidak bisa mendengarkan apa yang dikatakan orang tua?!”
     “Udah deh, Ayah, aku muak dengan semua, sebelum Ayah menasehatiku sebaiknya mengaca dulu apakah kalian orang tua yang patut dicontoh?!!”
     “KAMU…” ayah hendak menamparku, tapi ia urungkan niatnya
Kulangkahkan kaki meninggalkan rumah yang tak pernah ada lagi ketenangan.  Kubiarkan ibu yang terus memanggil dan ayah yang masih marah.  Aku sangat tak peduli! Untuk apa aku bertahan?  Rumah ini tak lagi bisa membuatku bahagia. Orang tua tak lagi memperdulikan aku. Mereka terlalu disibukkan dengan pertengkaran-pertengkaran. Mereka sibuk sendiri. Anaknya terlantar merekapun takkan peduli. Jadi untuk apa? Mereka tak peduli maka aku pun lebih tak peduli.
* * *
Aku berjalan bersama Arin memasuki ruangan yang cukup pengap. Kutatap sekeliling. Muda-mudi bebas melakukan apa yang mereka mau. Disinilah seharusnya aku berada, bebas tanpa adanya aturan, tekanan dan paksaan.  Di tempat ini orang tuaku takkan lagi mampu memantau. Aku bebas bersama dengan teman-teman.
     “Lo yakin mau tinggal disini, Bel?” tanya Arin
     “Yoi!” aku tersenyum puas
     “Kalo gitu lo tidur sama gue aja, Bel” tiba-tiba Anton memotong pembicaraanku dengan Arin
     “Brengsek lo!” aku timbuk dia dengan kepalan tanganku di lengannya
     “Ni buat lo, gratis! Sambutan dari gue.” Anton memberikan serbuk ganja kepadaku
     “Gak deh makasih.” aku menepisnya
     “Dengan ini kita bisa ngefly, segala beban akan hilang, coba deh?!”
     “Udah deh gak usah maksa, sini buat gue aja!” Arin merebut barang haram itu
Arin mengajakku meletakkan tas rangsel ke dalam.  Disimpannya barang tersebut di dalam sakunya. Anton merasa tidak terima hadiah untukku diambil Arin. Aku hanya bisa menatap lekat Arin tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Arin adalah sahabatku.  Dia sangat baik dan perhatian. Sosok gadis yang berjiwa bebas. Dia menghabiskan sebagian waktu hidupnya di markas ini. Dia mungkin sepertiku, kecewa dengan hidupnya dan marah kepada Tuhan. Semenjak ayahnya masuk penjara karena menjadi pengedar narkoba dan ibunya pergi dengan lelaki lain serta tak menganggap Arin sebagai anaknya lagi. Sesekali dia menggunakan narkoba sebagai tempat pelampiasan kesedihannya.
Markas ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang sakit hati.  Mencari kebahagiaan dan kebebasan. Laki-laki dan perempuan berkumpul jadi satu,  tak ada aturan yang mengikat, tak mengenal adanya batasan dan larangan. Sesuai dengan namanya, yaitu Belantara Sesat.  Ini adalah markas rahasia kami.  Disini kami bisa menemukan kebahagiaan. Kuatnya persahabatan yang terjalin diantara mereka menjadikan aku semakin memantapkan diri untuk tinggal disini. Aku ingin menemukan kebahagiaan.  Aku ingin hidup bebas!
* * *
Yang tinggal di markas ini memang tidak selalu sama jumlahnya.  Datang dan pergi.  Kebebasan seolah menjadi dewa disini.  Terkadang tanpa mengenal tempat dan basa-basi.  Suatu hari aku menangkap basah pasangan tanpa legalisasi mereguk kenikmatan surgawi.
Aku hanya bisa membeku.  Perempuan tanpa selembar benang yang sedang bergumul dengan pria ceking itu amat aku kenal.  Aku pun merasa tertampar dan risih.  Bergegas kulangkahkan kaki menjauh dari zona maksiat itu. Akhirnya, terdudukku di sofa sudut untuk meredam buncahan rasa malu setelah melihat adegan yang tanpa sensor.  Seluruh persendianku serasa lumpuh.  Bibirku bergerak berucap istighfar.  Ajaib!   Rasanya sudah lama kata itu menguap dari lidahku.  Tertimbun oleh muntahan amarah.
     “Napa lo?”  Tiba-tiba Anton sudah duduk disampingku
Tak kan aku ceritakan siaran pandangan mata tadi. Anton bukanlah orang yang tepat untuk berbagi resahku.
      “I’m fine..” jawabku sambil berusaha mengulas sebuah senyum
Dahi Anton berkerut.  Aku hanya berharap dia tak bertanya apa-apa lagi.
      “Okelah kalo begitu.” katanya sambil menghisap dalam-dalam sebatang rokok di bibirnya.
Meski kepulan asapnya membuatku sesak nafas, tapi aku merasa lega. Terbebas dari jerat pertanyaannya.
      “Arin mana?”
Mampus!  Haruskah aku beritahu di mana Arin? 
      “Napa sih lo?  Arin mana?”
      “G..Gue belum ketemu sama Arin..” kataku berbohong
      “Belum ketemu? Emang darimana aja lo?” tanya Anton tanpa memandangku
      “Tadi beli makan di warung ujung jalan itu.” jawabku sekenanya
      “Oh ..tumben lo beli makan sendiri, biasanya sama Arin.”
      “Maag gue nggak kenal kompromi, kebetulan Arin juga belum lapar, jadi gue makan sendiri.”
      “Owh.., gue ngantuk, pengen molor, mau ikut nggak?” tanyanya
Aku hanya menggeleng.  Anton mengangkat kedua bahunya dan berjalan terseok menuju kamar  paling ujung.  Waduh!  Bukannya kamar itu…Brakk!  Terdengar daun pintu dibanting agak keras.  Tampak seorang pria ceking keluar dari kamar, hampir menabrak Anton.  Keduanya bertatapan sejenak. 
      “Habis ngapain lo?” tanya Anton pada pria ceking itu
Pria ceking itu tersenyum, lalu membisikkan sesuatu di telinga Anton.  Mata Anton terbelalak.
      “Gila lo ya, gak ajak-ajak.” Kata Anton sambil meninju lengan pria itu
      “Ambil jatah lo, dia masih on fire tuh.” jawabnya
Suara tawa licik keduanya lalu memenuhi markas ini. Toss yang terjadi diantara mereka tanda sebuah kesepakatan.  Pria ceking itu lalu meninggalkan Anton dan melintas di hadapanku dengan ekspresi penuh kepuasan dan kemenangan.  Sedetik kemudian, Anton memasuki kamar dan menutup pintunya rapat-rapat.  Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi di kamar itu.
* * *
      “Bel…” seseorang mengguncang-guncang tubuhku
Aku membuka kelopak mataku dengan susah payah.  Sisa kantuk masih menggelayuti.  Tampak olehku Arin dengan wajah segar.  Rambutnya masih dibalut handuk.  Aroma sabun dan shampoo menyergap indera penciumanku.
      “Lo udah makan Bel?” tanyanya sambil memoles wajahnya dengan bedak tabur
Aku mengangguk.
      “Malam ini, gue sama Anton temenin lo ke Paradise, biar aman.”  katanya kemudian
Begitulah Arin yang kukenal.  Selalu perhatian, meski sebenarnya dia juga rapuh. Dia bisa sekuat Xena jika ada yang mengusik temannya. Scene tak layak sensor yang aku lihat tadi siang hanyalah shcok terapi belaka.  Dia tetap sahabat terbaikku. Tiap orang punya alasan dalam melakukan sesuatu, meski hal terburuk sekalipun!
* * *
     Adzan subuh mengiringi kepulanganku dari Paradise bersama Arin dan Anton.  Setelah mengganti pakaiannya, mereka langsung terlelap.  Aku belum bisa memejamkan mata.  Tiba-tiba aku teringat ayah dan ibu.  Hmm, masihkah mereka melewati 60 hari ini dengan pertengkaran?  Atau malah sudah jatuh talak?  Apakah mereka mencariku? Entahlah!  Lebih baik kuturuti saja kantuk yang menuntunku dalam buaian mimpi.
* * *
    “Sayang, ayah bawa boneka nih.”
Tampak ayah membawa sebuah boneka di tangannya.  Aku bersiap-siap untuk menerimanya, tapi ayah hanya melewatiku.
     “Sayang, ibu masakin puding coklat nih..”
Ibu membawa senampan puding coklat.  Aku bergegas menyambutnya, tapi ibu malah menghampiri gadis kecil yang sekarang duduk di pangkuan ayah.  Huh, mereka memang sudah tidak menyayangiku lagi.  Mereka lebih peduli pada gadis kecil itu, siapa sih sebenarnya dia?  Merebut habis perhatian orang tuaku tanpa tersisa.   Ini tidak bisa dibiarkan!  Aku harus mencari jawab pada ibu dan ayah.  Aku percepat langkahku menghampiri ibu dan ayah yang masih sibuk menenangkan tangis gadis kecil itu.
     “Abel…” sapa mereka
Syukurlah masih mengingatku. Tapi mengapa mereka tidak mengalihkan pandangan sedetikpun dari gadis itu.  Aku seolah tak ada di hadapan mereka.
     “Cup…cup, Abel.”
Gadis kecil itu bernama Abel?  Aku cuma bisa meringis perih.  Bahkan namaku pun disematkan ke gadis kecil itu. Apa aku sudah tidak ada lagi di hati mereka?
     “Ayah, Ibu, aku masih ada..” teriakku pada mereka
Mereka tidak menggubrisku.   Masih sibuk saja dengan gadis kecil itu.  Sedetik kemudian, seorang pria tua bertongkat menghampiri mereka dan menggendong gadis kecil itu.  Keajaiban terjadi, tangis gadis kecil itu terhenti dan berganti dengan tawa lucunya.  Kelegaan membias di wajah ayah dan ibu.  Pria tua itu menatapku.  Gurat wajahnya mengingatkanku pada seseorang.  Oh My God, bukankah dia almarhum kakek? Kenapa ayah dan ibu masih tampak muda?  Apa gadis kecil itu aku? Tiba-tiba mereka lenyap dari pandangan.  Aku berteriak memanggil mereka, tapi mulutku serasa tersumpal.  Ada sesak yang menghimpit dada.  Saat membuka kelopak mata, hanya samar dan gelap yang kulihat.  Aku mencoba untuk bangun dari rebahku, tapi serasa ada yang menindihku. Desah nafas terdengar memburu di telingaku.  Aroma nikotin dan keringat mencuat. Astagfirullah!  Apa yang sedang terjadi?  Aku kumpulkan segala kekuatan. Bismillah!  Kudorong dengan kuat badan busuk yang menindihku. Badan itu terpental membentur tembok. 
Itu kan si ceking yang pernah berbagi jatah kenikmatan setan dengan Anton?
     “Sok suci lo!  Clubbing aja rajin, tapi diajak ke surga, nolak!”  dia mengumpat
     “Gue emang doyan clubbing, tapi gue cari hidup disana.” teriakku
     “Berarti lo cewek bispak kan?” tanyanya
Buliran bening menggenang di kelopakku.  Hinaan itu mengiris hatiku.
     “Tolong jaga ya bicaranya.  Gue emang berandal, doyan clubbing, tapi gue bukan bispak!”
     “Halah, munak lo!  Semua juga tahu, cewek di markas ini tuh bispak, nggak ada yang    bener!”
Amarah mulai merayapi kisi-kisi hatiku.  Aku harus bisa melewati kunyuk ini kalau mau menyelamatkan diri. Tapi bagaimana?  Ya Allah! Tolong aku…
      “Mau lari kemana lo?  Hari ini lo milik gue seutuhnya…” kata pria itu lalu tertawa menyeringai.
Tangan kotornya berusaha menggapai tubuhku.  Seperti serigala lapar menghadapi mangsanya.  Gila!  Aku terkepung di kamar ini. Ternyata aku lupa menguncinya sebelum terlelap tadi, seperti kebiasaanku.  Ya Allah! Tolong aku. Serigala itu berhasil menerkamku.  Membenamkan tubuh mungilku ke dalam dekapan beringasnya.  Aku meronta sebisanya.  Tak rela mahkotaku terenggut begitu saja.  Aku rela menukarnya dengan nyawa untuk mempertahankannya.  Aku terus berusaha menepis tangan kasarnya yang nakal. Aku menyebut asma Allah, berharap ada pertolongan dari-Nya.
     “Sayang, mari kita nikmati kebersamaan ini..”  dia berkata sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
      “Sayang..lo tampak cantik sekali hari ini…lo…”
Tiba-tiba pria itu terkulai lemah diatas tubuhku.  Tak bergerak sama sekali.  Pintu kamar terkuak.  Seberkas cahaya menerobos masuk, tampak olehku Anton dengan sepotong kayu di tangannya.
      “Lo gak apa-apa Bel?”  terdengar suara Arin mendekati tempatku berbaring.
Sedetik kemudian tubuh pria itu diangkat dan dilemparkan keluar dari jendela kamar oleh Anton.  Arin memberiku segelas air minum.
       “Bel, lebih baik lo pergi dari markas ini.” kata Arin
       “Tapi Rin,”
       “Bel, tempat ini nggak aman buat lo.  Disini kumpulannya orang-orang nggak bermoral.  Kita nggak mau lo jadi korban.”
        “Arin betul Bel.  Sebejat-bejatnya gue, nggak sampai hati Bel untuk ngerjain lo, karena gue tahu siapa lo.  Bagi gue, lo udah kayak adik gue sendiri. Demi kita bisa makan, lo ngamen di Paradise, sampai orang ngira lo cewek bispak.”
        “Anton dan aku sudah mencarikan tempat yang aman buat lo, Bel.”
        “Kita berangkat aja sekarang, sebelum yang lainnya sadar.  Gue sudah kasih obat tidur buat mereka biar nggak ngrecokin rencana kita.” kata Anton.
Aku peluk Arin.  Solidaritas yang selama ini belum pernah aku temui.  Dengan berat hati, aku meninggalkan markas dibantu Anton dan Arin.
***
           Rumah itu mungil dan sedikit berantakan. Sebuah pohon jati besar berdiri kokoh persis di samping halaman, seolah mengucapkan selamat datang. Pandanganku terhenti pada dedaunan kering yang menghiasi halaman. Angin kecil menerbangkan daun itu dan hinggap tepat di sepatu kets merahku. Aku mengambil dan mengamatinya. Mataku terasa hangat. Daun itu persis aku. Kering dan rapuh. Sedikit saja tersentuh api, maka semuanya dipastikan musnah. Dan yang tersisa tinggal abu ringan yang akan lenyap terbawa angin.
            “Aku tak mau seperti daun ini,” aku bergumam pelan.
            “Abel, ayo masuk.” suara Anton membuatku tersentak. Dengan sigap dia membuka pagar rumah. Arin masih sibuk dengan barang-barang bawaannya.
            “Gue…”
            “Ayolah.” Anton menyeret tanganku lembut. Aku terpaksa menurut. Rumah mungil ini milik kakek Anton. Seorang sederhana yang dulu sempat dibenci Anton. Dan Anton tak mau menerima segala bentuk warisan dari sang kakek. Tapi kali ini dengan sangat terpaksa, ia akan melanggar janjinya. Demi aku dan Arin.
            “Percaya deh, ini tempat yang paling aman buat lo.” Arin berkata pelan. Dia duduk di samping Anton.
            Tempat paling aman? Aku terdiam. Sebuah kamar mungil telah Anton bersihkan, khusus untukku. Sementara Arin menempati kamar paling ujung. Inikah yang sebenarnya kuinginkan? Kebebasan. Tapi…
* * *
            Aku mimpi bertemu kakek lagi. Pertemuan singkat itu terasa sangat panjang. Aku kangen pada sosoknya yang tampan dan berwibawa. Beliau datang berbicara tentang satu hal padaku: mengenai hidupku. Sudah lima tahun beliau wafat. Kakek…
Sepi. Aku mengamati rumah bercat biru itu dari kejauhan. Lagi-lagi mataku terasa hangat. Aku jarang menangis. Hatiku keras dan beku. Pertengkaran ayah dan ibu membuatku kebal akan tangis. Masihkah pertengkaran itu berlanjut hingga sekarang? Bayangan wajah ibu yang sedang menahan tangis serta wajah ayah yang selalu murka seketika melintas. Kuharap mereka baik-baik saja setelah kutinggalkan.
Aku tak tahu persis apa yang mereka perdebatkan. Mungkin ayah berselingkuh dengan seorang kliennya, atau mungkin ibu yang berselingkuh. Entahlah, mereka sama-sama menuduh, Saling ingin menjatuhkan. Tanpa mereka sadari aku selalu duduk di belakang mereka, mengintip semua yang terjadi, hingga perasaanku berubah beku dan benci.
            Sekarang wajah Arin memenuhi penglihatanku. Lalu wajah Anton, wajah semua penghuni markas dan yang terakhir wajah lelaki ceking itu. Cuih, mendadak perutku terasa mual. Adegan tak pantas yang kulihat beberapa waktu lalu membuatku benar-benar merinding. Apalagi ditambah tindakan bejadnya yang hampir saja ia lakukan padaku.
            Aku memang pecinta kebebasan. Tapi untuk hal satu itu, aku tak berani. Aku masih punya Tuhan.  Menyebut asma-Nya membuatku terlempar dari alam mimpi.
Tuhan. Bibirku gemetar. Kapan terakhir aku mengingatnya? Kapan terakhir aku bertemu dengannya melalui sholat-sholatku? Rasanya sudah teramat lama. Lama sekali.
Kebebasan apa yang kamu inginkan? Tanyaku pada diri sendiri. Aku menggeleng. Dasar bodoh! Lihatlah dirimu di cermin!  Pasti kan tampak bayangan seorang cewek dengan potongan rambut pendek dan sedikit jabrik.  Umurmu berapa sih? Sudah dua puluh empat, tapi tingkahmu masih seperti gadis ABG enam belas tahun.
* * *
 Tas ransel masih kupegang erat. Pikiranku masih bimbang. Tadi, pagi-pagi sekali aku bangun, mendapati Arin dan Anton masih terlelap. Kupandangi wajah mereka satu-satu. Aku berterimakasih banyak pada mereka, terutama Arin yang membelaku dan Anton yang melindungiku. Aku memilih pergi dari mereka. Anton benar, rumah adalah tempat paling aman untukku saat ini. Rumah yang sebenarnya.
            Aku memejamkan mata. Mengatur nafas yang memburu serta detak jantung yang menggebu. Baru saja aku mengangkat kaki untuk melangkah ke halaman depan ketika tiba-tiba pintu rumah bercat biru itu terkuak lebar. Beberapa orang berpakaian putih memapah perempuan bertubuh kurus. Dadaku tersentak. Benarkah itu ibu? Saat aku meninggalkan rumah dua bulan lalu, ibu masih sehat. Tubuhnya segar meskipun raut wajahnya sangat tak bersahabat. Sosok lelaki yang kukenal sebagai ayah mengikuti mereka.
            Apa yang terjadi dengan ibu? Mobil ambulance itu bergerak cepat meninggalkan rumah. Kakiku seperti terpaku, tak bisa bergerak. Ada apa dengan ibu?
            Aku harus segera ke rumah sakit. Segera. Rumah berpagar biru itu kini lengang. Sunyi.

*END*

By: 11 Cermin
Zahara Putri, Nikki Vianti, Avioleta Zahra



No comments :

Post a Comment

Efektif Membersihkan Wajah Dengan Dewpre Carrot Cica Water Calming Pad

Siapa di sini yang suka bepergian dengan dandanan cakep, pakai make up lengkap dan menggunakannya seharian? Namun, ketika pulang, males untu...