Tuesday, 18 June 2013
DALAM GULANA TUKANG KEBUN
DALAM
GULANA TUKANG KEBUN
By: Zahara Putri
Kudapati lelaki itu
terduduk merenung di ruangan belakang kantor. Seperti ada beban berat yang
menimpanya atau mungkin ia mempunyai tanggungan yang berat hingga menjadikannya
dalam kegalauan.
Tak aku tegur ataupun
berusaha menanyakan ada apa sebenarnya dengan dirinya. Karena diriku juga ada
suatu permasalahan yang juga harus aku selesaikan. Sepulang kerja aku langsung
berlalu begitu saja. Hanya berharap ia baik-baik saja.
Namun besok dan
besoknya masih kuapati lelaki itu masih juga melamun. Tiba-tiba besok pada pagi
harinya dia menyapaku.
“Bu, maaf mau tanya.
Honor pegawai dikeluarkan kapan ya? Sudah 3 bulan kok tidak ada kabar?”
“Oh iya, saya juga
mempertanyakan akan hal itu. Tapi yang mengurusi keuangan adalah bendahara dan
yang mempunyai wewenang mengeluarkan honor kita adalah pimpinan.”
Lelaki itu menunduk
lemah, ada guratan kesedihan di wajahnya.
“Kenapa Mas?”
“Padahal uang itu
sangat saya perlukan sekali. Untuk biaya adik dan untuk belanja ibu saya.”
“Sungguh sangat
menyesal, tapi saya juga tidak tahu. Sebenarnya saya juga ingin cepat cair,
tapi kita hanya bawahan jadi tetap menunggu keputusan dari atasan.”
“Iya Bu, semoga bisa
segera cair.”
“Amin…”
Akupun pergi meninggalkannya
dan kembali ke ruangan kantorku. Kuhembuskan nafasku, mungkin ini cukup
menyebalkan dalam tiga bulan tidak ada kabar sama sekali tentang cairnya honor
kami, bahkan gajipun sering terlambat.
Mungkin ada permasalahan
keuangan di tempat kerjaku, namun pimpinan menutupinya. Pembangunan gedung yang
tak kunjung selesai dan banyak pengeluaran menyebabkan honor terhambat.
Kemungkinan sih seperti itu. Tapi entahlah jika ada alasan yang lain.
Sudah cukup sering
teman-temanku menanyakan akan hal ini, bahkan cukup sering dan bosan namun uang
tak kunjung keluar. Akupun sudah pasrah dan uang itu tidak bisa diharapkan.
Lebih baik aku mencari pengahasilan yang lain.
***
Pagi berbalut dingin
yang menyergap, kulangkahkan kakiku ke tempat kerja. Masih sepi, belum kudapati
teman-teman kantor datang. Wah ternyata aku datang lebih awal.
Kudengar suara sapu
yang bergesek di halaman tempat kerjaku, kudapati lelaki itu menyapu dengan
rajinnya. Bahkan beberapa ruangan sudah ia sapu dan pel. Rajin sekali tukang
kebun di tempatku itu.
Ia menyapaku dengan
senyumannya lalu melanjutkan pekerjaannya dan mulai menyiram bunga-bunga di
taman. Sungguh disayangkan, lelaki serajin itu harus menanggung beban di
pikirannya dan diperlakukan kurang berkenan oleh beberapa temanku kantorku.
Tapi aku tak ingin
terpengaruh, lelaki itu baik. Dari sisi pandanganku, lelaki itu rajin dan suka
menolong. Bukankah teman-teman suka menyuruh dia sesuai dengan keinginannya?!
Bahkan tidak berhubungan dengan pekerjaan kantor, untuk urusan pribadi saja
menyuruh tukang kebun. Harusnya kalau untuk beli makan, taupun hal-hal pribadi
kan bisa berangkat sendiri. Namun mereka tetap memanfaatkan jasa tukang kebun.
Bagi beberapa orang, tugasnya ya untuk disuruh-suruh. Kasihan.
Dan pada siang hari
kudapati lagi dia keluar dari ruangan pimpinan dengan wajah murung. Kudekati
dirinya dan menanyakan keadaannya.
“Ada apa Mas? Ada masalah ya di dalam?”
“Enggak Bu, cuma
sedikit teguran.”
“Tentang apa?”
“Karena saya biasanya
membantu orang kantor dalam hal pribadi. Harusnya saja bekerja sesuai dengan
tugas saya. Padahal saya niat menolong. Entah siapa yang melaporkan, saya juga
tidak tahu.”
“Wah tega sekali,
menolong kok malah kepentung sendiri.
Sabar ya Mas?”
“Gak papa Bu, jika saya
dipecat karena hal ini saya terima kok. Mungkin rejeki saya tidak disini.”
“Semoga itu takkan
terjadi.”
“Amin…”
Lelaki itu pergi
meninggalkanku dengan perasaan gulana. Ah sungguh tak tega, seorang yang baik
harus mengalami hal ini.
***
“Kamu kerjanya ngapain
saja sih? Tidur ya? LIHAT RUANGANKU MASIH KOTOR!!!” salah satu teman kantorku berteriak
memarahi tukang kebun kami
“Tadi sudah saya sapu
kok Bu. Nanti saya bersihkan lagi.”
“Ya sudah cepat! Saya
gak suka melihat ruangan yang kotor. Kamu disini kan digaji untuk bekeja bukan
enak-enakan tidur?”
Lelaki itu hanya
terdiam tanpa perlawanan, lalu ia pergi ke belakang mengambil sapu dan pel. Oh
kasihan sekali, kenapa sih teman kantorku tega melakukan hal itu kepada seorang
tukang kebun?
Kusapa temanku, dan
menanyakan kenapa pagi-pagi ia sudah marah.
“Pekerjaan dia kan cuma
tidur makanya ruangan jadi kotor.”
“Kok kamu bisa
mengatakan seperti itu?”
“Aku kan pernah lihat
dia tidur di ruangan belakang. Kita sibuk kerja eh dia malah tidur.”
“Mungkin di kecapean
kan dia kerja dari dini hari hingga sore.”
“Ya kan memang sudah
tugas dia. Salah sendiri punya pendidikan rendah ya cuma itu pekerjaan yang pantas
dia dapat.”
“Astaugfirullahal’adzim…”
“Kenapa sih?”
“Jangan berprasangka
buruk dan mengatakan hal itu. Barangkali tadi sudah dibersihkan tapi kotor
lagi.”
“Kok kamu jadi bela
dia?” dia menyengitkan alisnya
“Aku hanya membenarkan
yang benar.”
Temanku memandangku
dengan kesal, lalu aku pergi meninggalkannya. Sungguh sangat disayangkan akan
sikap tersebut, dan tak seharusnya pula berlaku seperti itu. Bagaimanapun
walaupun tingkat pndidikan yang jauh berbeda, sikap saling merendahkan itu
tidak dianjurkan dan tidak baik. Harusnya bisa saling menghagai.
Aku hanya bisa berharap
keadaan lelaki itu akan membaik dari hari ini.
***
Tak kudapati lagi ia
bekerja di tempatku bekerja, ada banyak permasalahan yang ia hadapai dan
kebutuhan sangat mendesaknya untuk mencari pekerjaan lain. Entah dia bekerja
dimana, teman-temanku tak pernah peduli dan hanya diriku yang ingin tahu
keberadaannya.
Honor yang dulu ia
tanyakan sudah keluar, dan ia belum mengambil haknya. Aku ingin mencarinya dan
sekalian memberikan honor tersebut. Kuminta ke bendahara dan kusampaikan aku
akan memberikan apa yang sudah menjadi haknya kepada lelaki tersebut.
Dan beberapa hari
mencarinya, kutemui dia bekerja pada sebuah bengkel kecil. Ternyata ia membuka
usaha kecil-kecilan, walau ia hanya lulusan SD namun ia banyak belajar dari
pamannya dan adiknya yang sekolah STM, yang ia biayai sekolahnya.
Ia terkejut ketika
melihatku di hadapannya.
“Wah keluar kerja kok
gak pamitan ya?” kusunggingkan senyumku padanya
“Oh maaf Bu, waktu itu
terburu-buru.”
“Gak papa, setidaknya
keadaan kamu baik-baik saja. Ini!” kusodorkan sebuah amplop padanya.
“Honor yang kamu
tanyakan kemarin. Sudah keluar dan aku memberikan apa yang sudah menjadi
hakmu.”
“Ya Allah, alhamdulillah
banget. Terima kasih ya Bu?”
Aku hanya tersenyum.
Sangat senang sekali melihat ia bahagia. Lelaki ini sangat baik, pekerja keras
dan sudah sewajarnya diperlakukan baik dan mendapatkan kebaikan pula.
Aku selalu berharap
hidup dia akan menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Akhirnya akupun
berpamitan pulang dan ia berkali-kali mengucapkan syukur.
Satu hal yang harus
dipelajari, jangan pernah mermehkan orang lain terutama orang yang jabatan dan
pendidikannya lebih rendah dari kita, bisa jadi ia malah lebih baik. Lebih mau
berusaha dan tak pernah menyerah dalam menjalani kehidupannya.
Ya Allah, mudahkanlah
jalan hidupnya. Semoga kelak ia menjadi orang yang sukses.
*END*
Malang,
24 Mei 2012
06.00
wib
*terbit di buku Gado-Gado Office Boy
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Efektif Membersihkan Wajah Dengan Dewpre Carrot Cica Water Calming Pad
Siapa di sini yang suka bepergian dengan dandanan cakep, pakai make up lengkap dan menggunakannya seharian? Namun, ketika pulang, males untu...
No comments :
Post a Comment